Dunia Tak Sekecil Kamar Apartemen, Bagian 1
Hai, perkenalkan namaku William, aku seorang mahasiswa
dari Dream University. Aku tinggal disalah satu apartemen di kotaku, agak
kecil, tapi aku menyukainya, aku menganggap apartemenku ini sebagai tempat
refreshing no 1 di kota. Aku lebih suka menghabiskan hampir seluruh waktuku
setelah kuliah di dalam apartemen, entah itu menonton film atau hanya tidur
tiduran saja.
Aku bukan tipe orang yang suka berkumpul dan mengobrol
bersama temanku yang lain, tapi bukan berarti aku anti sosial dan menghindari
kehidupan bermasyarakat. Meskipun jarang berkumpul dan mengobrol aku tetap
menyapa mereka saat bertemu, dan mereka juga memberi kesan ramah padaku. Kalau
pun ada yang mengajakku keluar aku akan meng’iya’kannya jika memang tidak ada
tugas dan tidak malas keluar, seperti kataku tadi, aku menyukai apartemenku.
Aku juga bukan tipe orang yang gugup jika diajak
bicara, aku bisa bicara lancar dengan semua orang, bahkan aku juga pernah
disuruh berpidato, agak gugup memang, tapi tetap berjalan lancar. Oh ya, hampir
semua orang yang ada di apartemenku adalah seorang mahasiswa, ada juga yang
satu universitas denganku, hanya saja beda mata pelajaran. Aku ada di lantai 2,
kamar paling pojok, harga sewanya lebih murah dari yang lain karena ruangannya
lebih kecil.
Hari ini adalah liburan akhir semester, liburan
panjang, akhirnyaaa. Aku tidak berniat pulang, karena selain jaraknya yang
jauh, orang tuaku juga jarang di rumah, jadi aku lebih memilih apartemenku
sebagai tempat untuk menyegarkan otakku dari soal soal yang nyaris membunuhku
itu.
Aku membuka laptopku, lalu mencoba mencari film film
komedi. Nyaris 4 jam aku didepan layar laptop sambil senyum senyum sendiri
menonton filmnya. Entah kenapa aku lebih suka film komedi dari pada film action
atau yang lain, tapi aku juga suka film documenter. Setelah selesai menonton
film, aku memutuskan untuk keluar dan mencari makan, aku sendiri juga manusia
jadi butuh makan kan? Hahaha.
Aku mulai berjalan ke luar kamar. Saat bertemu dengan
salah satu kenalanku, aku menyapanya dengan ramah “Hay Cob, apa kabar?” dia yang
tadinya asik bermain gadget langsung mendongak dan menengok ke arahku “Oh, Hay
Wil, tumben kau keluar, haha,” ledeknya. Yaah menurutku biasa saja sih
mendapat ucapan seperti itu. “Hanya ingin jalan jalan sebentar.”
Saat sampai di bawah, hal yang sama terjadi, Aku bingung mau kemana. Biasanya aku
akan langsung pergi ke minimarket atau cafe tanpa perlu berpikir panjang. Jalan jalan ke taman mungkin menyenangkan,
tiba tiba ide tersebut keluar dari otakku, karena bosan dengan minimarket
ataupun cafe, maka aku putuskan untuk mengikuti ide yang muncul di kepalaku
tadi.
Jarak taman dengan apartemenku sebenarnya tidak
terlalu jauh jika ditempuh dengan bersepeda, tapi karena aku berjalan, mungkin
memakan waktu lebih dari setengah jam. Saat sampai di jalan raya, aku baru
sadar kalau kota ini sangatlah ramai, banyak orang yang lalu lalang, dan banyak
juga kendaraan yang mondar mandir. Perhatianku terpusat pada seorang kakek yang
sepertinya kesulitan menata Koran di atas sepedanya, karena tidak ada yang
menolong, kuputuskan untuk menghampiri kakek tersebut.
“Halo kek, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya sedang
kesulitan,” kataku sambil sedikit menundukkan kepala.
Kakek tersebut mengalihkan perhatiannya dari tali yang
dari tadi ia putar putar tanpa ada hasil, “Ooooh, kau mengagetkanku anak muda,
haha, tentu tentu. Bisa kau bantu aku mengikat ini? Aku cukup kesulitan,” kakek
tersebut tertawa ramah sambil menyodorkan tali kepadaku.
“Baiklah Kek,” karena pernah ikut Pramuka, aku jadi
tahu beberapa bentuk ikatan tali dan simpul, jadi urusan begini mudah saja
bagiku. Setelah Koran tersebut selesai ku ikat, aku mengangkatnya dan
menaruhnya di belakang sepedanya. “Ini Kek.”
Kakek itu tersenyum, “Terima kasih anak muda, kalau
tidak ada kamu, aku tidak akan tahu sampai kapan aku harus berurusan dengan monster
kertas ini,” kata kakek tersebut sambil merapikan letak korannya. Dia menghadap
ke arahku lagi, “Anak muda, mau mampir ke rumahku sebentar? Akan aku buatkan
minuman dan kue kering untukmu, sebagai ucapan termakasih.”
Aku awalnya ingin menolak karena ingin pergi ke taman,
tapi setelah kupikir pikir lagi, saat sampai taman aku tidak tahu apa yang akan
aku lakukan, jadi kuputuskan untuk menerima tawaran kakek tersebut. “Baik Kek,”
lalu kami mulai berjalan bersama.
Kami akhirnya sampai di rumahnya. Tidak terlalu mewah
dan tidak terlalu kumuh, letaknya tidak jauh dari taman kota, aku bahkan baru
tahu kalau ternyata ada rumah yang cukup sederhana di perkotaan seperti ini.
Kakek tersebut manaruh sepeda di garasinya, lalu membuka pintu rumah sambil
membawa korannya dan menyuruhku masuk.
Aku cukup terkejut saat masuk ke dalam rumah kakek
tersebut. Di dalam terdapat banyak senjata api dan pisau, bahkan beberapa benda
lonjong yang mirip granat, atau mungkin memang sebuah granat, “Kek, kamu menjalankan
bisnis gelap ya?” tanyaku spontan. “Hahaha, kamu tidak basa basi ya? Yaah
begitulah,” kupikir awalnya kakek tersebut akan mengusirku atau mungkin
mengancamku dengan salah satu senjata apinya agar aku tidak buka mulut, tapi
kakek tersebut malah tertawa, dasar kakek aneh.
“Duduklah Nak,” kata kakek tersebut, lalu ia masuk ke
dalam dapurnya. Saat duduk, aku tetap memperhatikan sekeliling rumahnya, sempat
juga terpikirkan olehku pertanyaan seperti ini ‘Bagaimana mungkin rumah yang terletak dekat dengan pusat kota bisa
menjual barang barang seperti ini?’.
Kakek tersebut keluar sambil membawa nampan berisi 2
gelas kopi dan beberapa kue kering, ia menaruhnya di atas meja, lalu duduk
disebelahku. “Ada yang ingin kau tanyakan? Aku yakin sekali kau punya banyak
pertanyaan Anak Muda.” Kata kakek tersebut dengan nada bicara yang cukup
santai, apa dia tidak takut kalau rahasianya kubocorkan?
“Hmmm, Apa kakek tidak takut menjalankan bisnis
seperti ini?” Tanyaku dengan penuh hati hati.
Kakek tersebut meminum kopinya dan mengambil kue
kering, “Kalau aku takut, aku sudah berhenti dari dulu,” jawab kakek tersebut
dengan santainya.
“Oooh,” Aku diam sejenak sebelum melanjutkan
pertanyaanku, “Jadi kakek sudah lama menjual barang barang seperti ini?”
“Tentu saja, mungkin sekitar 30 tahun,” Aku cukup
kaget, ’30 tahun? Aku saja belum lahir.’.
Aku mengambil kue kering dan memakannya, aku terkejut
dengan rasa kue itu. “Bagaimana kuenya? Enakkan?” Tanya kakek tersebut.
“Iya Kek, aku sampai kaget, hanya saja sepertinya terlalu banyak tepung yang
dipakai dan kenapa ini berbentuk oval?” Kataku sambil tersenyum ke arah kakek
tersebut. Tiba tiba saja mata kakek tersebut membulat diiringi dengan ekspresi
kaget, lalu kakek tersebut menunduk. ‘Tunggu,
apa aku salah bicara?’ aku sempat khawatir, tapi sebelum menanyakannya,
kakek tersebut malah tertawa terbahak bahak, tentu saja ini membuatku bingung.
“Hahahahaha, kau tahu anak muda? Kau orang kedua yang
mengatakan hal tersebut. Saat jalan jalan ke luar aku sering membawa kue kering
buatanku, dan sering juga aku memberikannya pada anak anak ataupun orang yang
tidak sengaja berpapasan denganku, aku tidak pernah mendengar mereka
berkomentar, kebanyakan mereka hanya mengucapkan ‘terima kasih’ atau malah
balik bertanya ‘apa ini?’ hahaha.”
Aku mulai faham sekarang, lalu akupun bertanya lagi,
“Lalu...siapa orang pertama yang berkomentar seperti itu?” dan tiba tiba
pandangan kakek tersebut sayu, ia memandang ke arah foto yang disamping meja,
“Mendiang istriku.” Katanya pelan.
Aku merasa atmosfer disekitarku berubah, “Maaf Kek,
aku tidak bermaksud mengingatkanmu dengan mendiang istrimu.”
“Tidak apa Nak, tidak perlu kau pikirkan, nah apa
masih ada lagi yang ingin kau tanyakan?”
Aku masih agak ragu untuk bertanya, maka dari itu aku
lebih memilih diam dan menggelengkan kepala.
“Santai saja, tanyakanlah apa yang ingin kau tanyakan,
aku percaya kau bukan orang yang suka membeberkan rahasia orang lain, lagi pula aku juga suka jika ada orang yang bisa ku ajak mengobrol,”
perkataan kakek tersebut mendorong kembali keinginanku untuk bertanya.
‘Baiklah,
kupikir aku harus menanyakannya.’ Pikirku, “Begini Kek, aku sempat kaget saat tahu kau menjual
barang barang illegal seperti ini, tapi yang membuatku heran adalah, bagaimana
mungkin kakek bisa menjalankan bisnis seperti ini di tengah kota? Apa tidak
pernah ada pemeriksaan dari pemerintah atau yang lain? Terlebih lagi ini sudah
berjalan lebih dari 30 tahun,” kataku dengan mantap.
Kakek tersebut kembali meminum kopinya, setelah
meletakkan cangkirnya, ia menjawab pertanyaanku, “Pertanyaan yang bagus Nak,
aku tidak bisa menjelaskan secara detail bagaimana aku menjalankan bisnis ini,
tapi kuharap ini menjawab pertanyaanmu ‘Sebuah kejahatan ataupun kebaikan
selalu tampak di depan mata, hanya saja kita sendiri yang tidak bisa menerima
hal tersebut dan memilih untuk menutup mata dan tidak memperdulikannya’.”
Ternyata Duniaku tidak sekecil kamar apartemenku.
Bersambung.
Terima kasih telah membaca, tunggu update selanjutnya ya.
1 comment