Dunia Tak Sekecil Kamar Apartemen, Bagian 2

Aku melangkah menuju taman dengan banyak pikiran dalam otakku, kejadian yang baru ku alami beberapa menit yang lalu cukup membuatku kaget dan seperti mimpi bagiku. Kakek kakek yang terlihat biasa saja yang ku temui di jalan raya ternyata adalah seorang Bandar senjata api tersebesar di kota, dan bahkan tidak ada yang tahu. Aneh menurutku, tapi aku juga tidak berniat memberi tahu siapa siapa, toh aku juga tidak dirugikan.

Sesampainya di taman kota, aku langsung duduk dibangku taman,  setelah menenangkan fikiranku, barulah aku melihat sekeliling taman, ‘tidak buruk juga,’ pikirku. Ternyata taman tak seramai yang kuduga, hanya terlihat beberapa anak yang kejar kejaran, atau lansia yang asyik memberi makan beberapa burung. Aku menyukai tempat ini, suasana yang dipancarkan seolah olah bisa membawa kedamaian bagiku. Bosan hanya mengamati saja, kuputuskan untuk jalan jalan juga, dan langkahku terhenti saat melihat beberapa orang tampak mempersiapkan sesuatu, hanya saja tidak terlihat kalau mereka sedang bekerja sama, ‘Ooh, mungkinkah ini aksi seniman jalanan?” ada yang menyiapkan sebuah sepeda hanya saja beroda 1, ada yang menyiapkan papan kayu dengan ukuran persegi, dan ada juga yang sedang menyetem gitar. Merasa ada hiburan menarik, kuputuskan untuk menunggu aksi aksi mereka, aku duduk di bangku yang berjarak 7 menter dari tempat mereka akan memulai aksinya. Aku melihat jam di tanganku, ‘sudah hampir jam 4 sore, pasti sebentar lagi aka nada yang sudah memulai aksinya,’ kataku sambil melihat semua seniman tersebut dari tempatku duduk.
Sudah hampir setengah jam, tapi belum ada juga yang memulai aksinya, hampir saja aku berniat untuk pulang, tapi setelah melihat seorang wanita yang tadi menata papan kayu niatku untuk pulang tiba tiba hilang. Aku melihatnya dari atas ke bawah, penampilannya biasa saja, celana panjang dan agak ketat, dan baju lengan panjang, dan juga topi ‘Apa yang akan wanita itu lakukan?’ pikirku.
Wanita itu menyalakan sound dan mengambil mic yang ada di dalam tasnya, lalu mencolokkannya di sound tersebut, dan saat dia membuka mulutnya, wow!! Suaranya sangat merdu dan indah, bahkan tanpa diiringi musik. Dan sepertinya tidak hanya aku saja yang tertarik dengan nyanyian wanita tersebut, tapi terlihat juga beberapa orang yang menghampiri wanita tersebut, ada juga yang merekamnya. Karena banyak orang yang berkumpul disekitar wanita itu, pandanganku jadi terhalang, aku pun berdiri dari kursi dan ikut bergabung dengan kerumunan tersebut. Setelah mendekat aku baru sadar kalau wajah wanita tersebut cantik, sangat cantik malah, aku mengambil ponselku dan memfotonya, tapi aku agak ceroboh, flash ponselku menyala!! Wanita itu sempat berhenti sejenak dan melirik ke arahku, aku merasa malu, orang orang disana tiba tiba melihatku, ada juga yang berbisik bisik, aku merasa seperti penguntit, ada yang menepuk bahuku, “Cantik ya? Suaranya juga indah, Tapi kalau mau foto, flashnya di nonaktifkan ya?” kata orang tersebut sambil menunjuk ponselku.
Aku langsung memasukkan ponselku ke dalam saku, aku berniat menjauh dari kerumunan tersebut dan langsung pulang, tapi beberapa orang tiba tiba bubar dari tempatnya, dan mereka pergi melihat atraksi yang lain, setelah kuperhatikan ternyata sudah banyak yang menampilkan atraksi selain wanita penyanyi ini. Selain merasa bersalah aku juga merasa ada yang janggal, dari sekian banyak yang menonton nyanyian wanita itu, hanya beberapa saja yang memberinya uang, bahkan tidak ada setengahnya, ‘Kalau aku pergi, aku sama saja dengan mereka yang tidak memberi,’. Aku berjalan ke arah kotak yang digunakan sebagai tempat menaruh uang, lalu tanpa pikir panjang kuambil saja uang yang ada disakuku dan menaruhnya didalam sana, dan langsung pergi dari sana.
Beberapa saat kemudian, aku baru sadar kalau aku menaruh semua uang yang kubawa dikotak tadi, aku sempat berhenti, tapi setelah apa yang kulakukan tadi, mau tidak mau uang yang jajanku selama 2 hari harus ku relakan.
Aku melanjutkan perjalananku menuju apartemen, aku mempercepat langkahku sambil menunduk, dan baru sadar kalau ternyata ada yang memanggilku. Saat aku menoleh ke sumber suara, yang kulihat adalah wanita yang tadi sempat kufoto, dia tampak kelelahan, mungkinkah dia mengejarku? Bisa saja, setelah ini mungkin saja dia akan memarahiku atau mungkin menamparku.
Dia tampak mengatur nafasnya, merasa tidak enak, aku membuka pembicaraan lebih dulu, “Untuk yang tadi, aku minta maaf, aku benar benar tidak tahu kalau flashnya masih menyala, sekali lagi, aku minta maaf,” kataku sambil menunduk.
Saat kupikir akan mendapat bentakan atau amukan, dia malah berkata, “Kau ini bicara apa? Hal seperti itu sudah biasa,” katanya sambil tetap mengatur nafas, sepertinya dia benar benar kelelahan.
“Eh?” aku bengong seketika. Dan dia melanjutkan, “Kamu baru pertama kali lihat pengamen jalanan sepertiku ya?” Tanya wanita tersebut. “Iya,” jawabku sambil mengangguk.
Wanita itu diam sejenak, “Aku merasa tidak enak karena kau memberiku uang sebanyak ini,” dia mengeluarkan uang yang tadi kutaruh di kotaknya, itu adalah uang jajanku selama 2 hari, tapi aku tetap merasa tidak enak. “Tidak apa apa, ambil saja, anggap saja sebagai ganti keributanku tadi,” kataku.
“Begini ya, hal yang kau lakukan tadi sudah biasa terjadi, aku sendiri sudah biasa, hanya saja aku merasa aneh denganmu yang tiba tiba menaruh uang sebanyak ini lalu pergi begitu saja, makanya aku mengejarmu. Karena menurutku uang ini terlalu banyak, ini kukembalikan setengah,” dia menyodorkan uangnya.
Entah harus bingung atau senang, aku merasa tidak enak jika uang itu kuterima, dilain sisi, jika uang tersebut tidak ku ambil, aku terpaksa mengambil uang tabunganku. Aku hanya diam, tapi wanita itu meraih tangaku secara paksa dan menruh uangnya ditanganku. “Kau ini aneh sekali,” katanya.
Aku menatap uang ditanganku, “Maaf, bukannya kau yang aneh?” Wanita tersebut tampak bingung dengan pertanyaanku, “Bukankah kamu menyanyi untuk mencari uang? Kenapa mengembalikan uangnya?” Tanyaku lagi.
Dia diam lagi, dan memangdang ke arah langit, “Iya, aku memang menyanyi untuk mencari uang, tapi kalau seperti mendapatkannya dari belas kasihan orang lain, aku tidak suka itu, makanya kukembalikan setengah.”
Aku agak gugup, “Aaah Begitu ya.” Meski begitu, perasaan bersalah tadi tetap membekas dalam diriku, “Apakah kau mau kutraktir makan?” tanyaku yang sebenarnya aku sendiri bingung kenapa menanyakan hal tesebut.
“Tentu saja.” Wanita itu tersenyum ke arahku, ‘Manis sekali,’ aku terpesona dengan senyumannya itu dan tanpa sadar aku terlalu lama menatapnya. “Kenapa bengong?” pertanyaan wanita itu membuatku kembali sadar, “Tidak,” Aku mememalingkan wajahku, lalu melihat restoran sederhana di pinggir jalan, “Ayo kesana,” kataku, dan dia hanya mengangguk sambil tetap mempertahankan senyumnya.
Aku hanya memesan secangkir kopi, dan wanita itu memesan Omlet rice dan jus jeruk. Dari awal sampai masuk kami sama sekali tidak berbicara satu sama lain kecuali saat memesan menu makanan, aku merasa sangat canggung jika dihadapan wanita.
“Kalau boleh tahu, kenapa kau menyanyi dijalanan?” Tanyaku, berusaha memecah keheningan.
“Mencari uang,” jawabnya sambil memakan makanannya.
‘Pertanyaan bodoh,’ pikirku, lalu aku melanjutkan bertanya lagi, dan entah kenapa aku merasa bisa menanyakan banyak hal pada wanita ini, seperti saat beberapa jam yang lalu dimana aku bertanya pada kakek Zack, si Bandar senjata api.
“Diusiamu yang masih muda ini?” tanyaku.
“Wah wah, kau memujiku ya? Terimakasih, haha,” Dia malah tertawa.
“Hei aku serius, kenapa kau mencari uang diusiamu yang muda begini?” aku agak meninggikan suaraku, dan kulihat dia malah diam, dan aku merasa bersalah karena terlalu mencampuri urusan orang lain, “Maaf, lupakan saja pertanyaanku tadi, kupikir aku terlalu ikut campur urusan orang lain, hehe.” Kataku penuh dengan penyesalan.
“Aku harus membiayai adikku sekolah, dia masih SD, aku ingin dia mendapat pendidikan yang layak, aku tidak ingin dia putus sekolah sepertiku,” dia menjawab dengan pelan.
“Begitu ya, maaf terlalu mencampuri urusanmu, hei apa kau tahu kalau suaramu itu sangat bagus?” aku berusaha menghibur dengan memuji suaranya yang memang benar benar bagus.
Tapi sepertinya dia tidak mendengarkan, dia malah meneruskan bercerita, “Kau tahu? Dulu aku hidup berkecukupan, bahkan malah bergelimang harta, saat itu adikku masih sangat kecil, dan aku masih SMP. Waktu itu aku sangat sombong dan memandang rendah teman temanku, bahkan aku sempat menendang seorang pengemis di jalan. Lalu suatu hari, perusahaan ayahku terlilit hutang karena dijebak oleh orang lain, dan seketika itu keluarga kami yang berada di atas tiba tiba langsung jatuh. Dan musibah kembali berdatangan, Ibuku jatuh sakit, dan kami tidak memiliki uang yang cukup untuk membawanya ke rumah sakit, karena tidak mendapat perawatan dan obat, beliau meninggal dunia, dan karena ayahku tidak kuat menghadapi keegoisanku, akhirnya dia pergi meninggalkanku dan adikku yang masih kecil. Barulah aku sadar kalau tingkahku sangatlah menjengkelkan, malam itu aku menangis sangat keras sehingga membangunkan adikku, dia tidak berkata apa apa dan hanya tersenyum ke arahku, saat itu juga aku telah membulatkan tekat untuk merawat adikku sampai besar, aku tidak akan mebiarkan dia menderita. Mungkin ini merupkan hukuman bagiku yang dulunya sangat sombong dan angkuh. Ah! Maaf aku jadi terlalu banyak bercerita, hehe.” Meskipun dia berusaha tertawa, tapi tetap saja air mata yang keluar dari matanya tidak bisa ia sembunyikan.
Aku mengambil sekotak tisu di pojok meja dan menyodorkannya ke wanita yang sedang menangis di depanku ini, “Menangislah sampai kau tenang,” dia mengangguk dan menangis dalam diam. Aku tidak peduli apabila ada orang yang melihatku dan memandangku sebagai orang jahat karena membuat wanita di depanku ini menangis, tapi aku juga bukan laki laki jahat yang membiarkan wanita menanggung rasa penderitaanya sendirian.

Bersambung?

You may like these posts

2 comments

  1. Kiki Widayanti
    Adegan terakhirnya manis.
  2. Lucky Arif Rahman Hakim(Lyriraki)
    Terimakasih Kiki atas kunjungannya