Dunia Tak Sekecil Kamar Apartemen, Bagian 4
Sekarang
aku diliputi pilihan yang entah aku harus memilih yang mana, apakah
aku harus memberi tahu orang di depanku ini kalau ia sedang
dimanfaatkan? Atau mungkin aku harus diam dan tidak berkata apa apa
lalu pergi ke luar apartemen untuk mencari hal lain? Aaaaargh, aku
tidak tahu aku harus memilih yang mana.
“Hei,
kamu tidak apa apakan? Ah iya iya iya, maaf, sebentar,” Mouty
berjalan ke arah kulkas dan mencari sesuatu di dalam sana. “Ini
dia,” dia kembali dengan membawa 2 botol air mineral dan
menyerahkan salah satunya kepadaku. “Maaf, aku hanya punya ini, aku
tidak terlalu suka minuman kemasan yang lain.” katanya sambil
tersenyum.
Baca Juga : Bagian 1 Bagian 2 Bagian 3
Aku
mengambil air mineral tersebut dan meminumnya, aaah leganya~~, kurasa
sekarang pikiranku lebih jernih dari pada sebelumnya. Kuputuskan
untuk sementara aku tidak akan memberitahunya terlebih dahulu, bukan
karena aku tidak berani atau apa, hanya saja aku masih kurang
informasi, siapa tahu Jordan tidak mengambil semua uangnya dan
diberikan kepada orang lain. Dan setelah kuingat lagi, Mouty memiliki
perangkat komputer yang canggih, pastinya itu berimbas pada pemakaian
listrik. Aku perlahan lahan mulai menghilangkan semua gambaran buruk
dalam otakku, dan mencoba untuk lebih rileks.
“Hei,
aku lupa bertanya, siapa namamu?” katanya sambil mendekat ke arahku
dan menjulurkan tangannya. Aku menerima uluran tangannya, “Namaku
William,” jawabku. “Salam kenal ya,” katanya sambil tersenyum.
Kami
kembali diam, sebenarnya masih ada perasaan mengganjal dalam diriku,
tapi aku tidak boleh larut dalam perasaan tersebut, aku harus bisa
mengontrol diriku. Tiba tiba terdengar suara air yang mengalir deras,
‘Apa hujan ya?’ ternyata
itu hanya suara nada dering handphone milik Mouty, ia melihat siapa
yang menelponnya lalu menoleh ke arahku, “Ada telpon dari Jordan,
sebentar ya?” Aku hanya mengangguk.
Dia
terlihat senang saat berbicara dengan Jordan melalui handphone
tersebut. Dia juga sempat menunjuk ke arahku, tapi pandangan matanya
tidak tertuju ke arahku, setelah itu ia menutup telpon dan berbicara
kepadaku, “Jordan ingin berterimakasih kepadamu, katanya kapan
kapan dia akan mentraktirmu makan, hehehe dia baik kan?” katanya
sambil tertawa riang. Aku juga ikut tertawa meskipun agak kupaksa
sih.
Setelah
itu aku keluar dari kamar Mouty, ia terus terusan berkata terimakasih
kepadaku, aku sendiri malah merasa tidak enak, dia juga meminta
kepadaku untuk sekali kali mampir ke kamarnya, mengingat kamar kami
bersebelahan kupikir itu perkara mudah, aku juga ingin melihat desain
desain yang dibuat oleh Mouty.
Aku
kembali ke kamarku untuk mengambil dompet dan jaket, aku berniat
untuk pergi ke luar lagi, dan saat mengecek Handphone, aku mendapat
pesan dari Natasya, katanya dia ingin bertemu denganku. Ia ingin
mentraktirku makan sebagai imbalan karena mengantarnya pulang kemarin
malam. ‘Waah apa ini yang namanya kebaikan dibalas dengan
kebaikan ya?’ tanpa sadar aku
malah senyum senyum sendiri.
Aku
berjalan melalui jalan yang sama seperti sebelumnya, mungkin aku bisa
bertemu lagi dengan orang orang yang memiliki pengalaman hidup yang
unik dan menarik. Pandanganku tertuju pada seorang kakek yang sangat
kukenal meskipun baru bertemu satu hari, Kakek Zack, hanya saja
sekarang ia sedang tidak membawa sepeda, hanya duduk dibangku kota
tanpa melakukan apa apa.
Karena
masih ada waktu sekitar 2jam, aku langsung menghampiri kakek Zack dan
menyapanya. “Halo Zack,” sapaku ramah, meskipun jujur saja aku
merasa tidak enak jika memanggil nama orang yang umurnya terpaut jauh
dariku, rasanya seperti tidak menghormati yang lebih tua, tapi karena
kakek Zack menyuruhku memanggilnya hanya dengan namanya saja, apa
boleh buat?.
Dia
menoleh ke arahku, bisa kulihat raut wajah tegas dimukanya, lalu
disambung dengan senyum yang ramah, “Oooh, Halo William, apa yang
kau lakukan disini?”.
“Aku
hanya berjalan jalan saja,” kataku tanpa mengatakan kalau aku ada
pertemuan dengan seorang gadis.
“Benarkah
begitu? Aku tidak yakin, kau pasti punya janji dengan seseorangkan?
Aku bisa tahu itu, asal kau tahu, aku juga pernah muda, hahaha.
Duduklah disini,” tebakannya sukses membuatku gugup, aku tidak tahu
kalau ia memiliki insting yang kuat, aku lalu duduk disampingnya.
“Sebenarnya
nanti aku mau bertemu teman wanitaku, dia ingin mentraktirku makan,”
kataku jujur.
“Apa
apaan itu? Seorang laki laki ditraktir perempuan? Kau memalukan
William,” sindirnya, dan tentu saja aku tidak terima.
“Bukan
begitu, dia ingin berterimakasih kepadaku, karena itu dia mau
mentraktirku makan,” kataku sambil bersandan ke kursi, rasanya
nyaman sekali, meskipun agak berisik sih. Wajar saja, ini masih
siang, banyak orang yang mondar mandir kesana kemari, entah bekerja
atau apa.
Kakek
Zack melihat ke arahku, mulai dari bawah ke atas lalu menghela nafas,
“Bukankah pakaianmu itu terlalu biasa Nak? Kau akan berkencan
dengan wanitakan? Setidaknya pakailah pakaian yang rapi dan keren,”
katanya.
Aku
memperhatikan apa yang kupakai, sepatu bertali, celana jeans panjang,
kaos polos dan jaket, menurutku ini sudah sopan dan keren, apa
salahnya? “Bukankah tadi sudah kubilang? Aku ditraktir teman
wanitaku, bukan pacarku.”
Dia
hanya tertawa kecil, “Kau pikir aku akan percaya? Tapi, ngomong
ngomong siapa wanita yang akan kau ajak kencan hari ini?”
Aku
malah semakin kesal, tapi aku tidak ingin saling beradu argumen yang
tidak penting, “Namanya Natasya, dia penyanyi jalanan,” kataku
sambil melihat ke arah jam tangan, ‘masih lama’.
“Apa
dia cantik?” aku yakin Kakek Zack sedang menggodaku. Tapi aku tidak
menyangkalnya, Natasya memang cantik. Aku hanya mengangguk.
Kakek
Zack malah tertawa dengan keras, orang yang berjalan di sekitar mulai
memperhatikan kami, aku merasa sangat malu, bisa bisanya aku
mengikuti permainan kakek Zack, dasar kakek kakek kurang kerjaan.
Aku
langsung mengalihkan arah pembicaraan, “Kau sendiri sedang apa
disini? Bagaimana dengan bisnismu?”
Dia
mulai berhenti tertawa, “Hehe, aku hanya bersantai. Istirahat itu
perlu, apalagi untuk orang seusiaku. Hmm, akhir akhir ini tidak
terlalu banyak orang yang datang ke toko, mungkin para gangster
sedang gencatan senjata, hahaha,” dia kembali tertawa keras, hanya
saja kali ini aku ikut tertawa pelan.
Puas
tertawa, kami kembali dalam diam, “Zack, bagiaman perasaanmu jika
partner kerjamu mengkhianatimu?” aku teringat kembali dengan
kejadian tadi pagi.
Dia
diam sejenak, “Setiap orang yang berkhianat pasti memiliki tujuan,
dan aku akan melihat apa tujuan orang tersebut. Pasti kau
menganggapku aneh, tapi aku suka orang yang berusaha untuk
menjatuhkan bisnisku dari balik layar, itu seperti sebuah game
bagiku.” katanya sambil menyeringai, dan itu menambah kesan aneh di
otakku.
“Jadi
maksudmu, kau tidak masalah jika kau dikhianati, bahkan oleh
partnermu sendiri?” tanyaku.
Dia
mengangguk, “Yaa begitulah,” lalu menengok ke arahku, “Memangnya
kenapa?”
Tanpa
sadar aku mulai menceritakan kejadian yang kualami tadi pagi, mulai
dari aku bertemu Mouty, keterkejutanku saat masuk ke kamarnya,
membantunya mengirimkan email, dan membaca sebuah email yang
membuatku berfikir bahwa itu adalah sebuah pengkhianatan besar.
Kakek
Zack hanya mengangguk saja, dia membiarkanku bercerita sampai
selesai, dan saat ceritanya selesai, “Itu seperti apa yang
kukatakan kemarin, terkadang sebuah kejahatan besar ada di depan
kita, hanya saja kita yang tidak melihat atau mungkin mengabaikannya.
Dan sekarang kembali pada dirimu, apa kau melihatnya lebih jauh Nak?”
Suara Kakek Zack terdengar serius.
Aku
mencoba memantapkan hatiku, mungkin aku memang orang yang suka
mencampuri urusan orang lain, aku juga tidak bisa berbuat banyak,
tapi, aku bukan orang yang akan tinggal diam saja. Aku mengangguk,
“Iya, aku mau melihatnya.”
Kakek
Zack tersenyum, ia lalu mengambil sebuah handphone dari sakunya, dan
memencet beberapa nomor, “Kau mengirim email melalui akun si Jordan
itu kan?” tanya kakek Zack.
“Iya,
memangnya kenapa?” tanyaku dengan penasaran.
“Kau
ingat nama akunnya?”
Tentu
saja aku masih ingat,“Namanya Jordan.Ando3@mail.com,”
“Hmm
baiklah baiklah,” Kakek Zack mengangguk anggukkan kepalanya, dan
mulai sibuk dengan Handphonenya lagi.
Aku
penasaran dengan apa yang dilakukan oleh kakek Zack, tapi melihat
ekspresi serius Kakek Zack, niatku bertanya kutunda dulu.
“Orang
ini memiliki hubungan dengan sebuah tempat, lumayan dekat dari sini,
mungkin berjalan 30 menit juga sampai, nama tempatnya Light of Life,
ini foto Jordan,” Aku melongo mendengar apa yang dikatakan oleh
Kakek Zack. Baru beberapa menit ia bermain dengan Handphonenya tapi
ia sudah menemukan info tentang Jordan, bahkan sampai fotonya. yaaah
meskipun aku tidak tahu benar atau tidak sih.
“Jangan
khawatir, informasi ini terpercaya,” aku merasa kakek Zack bisa
membaca pikiranku.
“Bagiamana
kau bisa mendapat informasi itu Zack?” meskipun aku percaya Zack
bukan tipe orang yang suka berbohong, tapi aku masih belum bisa
percaya begitu saja.
“Dia
kenalanku, seorang yang ahli dalam bidang network, dan sebelumnya aku
juga sering meminta bantuannya, seperti yang baru saja kulakukan.
Kalau kau penasaran, kapan kapan akan aku ajak kau ke tempatnya.
Jadi, bagaimana? Kau mau pergi ke Light of Life?” katanya sambil
memasukkan kembali handphonenya.
Aku
merasa agak bimbang, apa aku harus kesana dan mengintrogasi Jordan?
Tapi aku merasa terlalu mencampuri urusan orang. Sebelumnya aku
merasa senang bertemu dengan kakek Zack dan Natasya, saat pertama
bertemu mungkin aku terlalu mencampuri urusan mereka, tapi mereka
orang yang baik, mereka bisa terbuka denganku dan aku merasa nyaman
dengan mereka, tapi kali ini berbeda, dari awal saja aku sudah
menggambarkan Jordan dengan gambaran yang buruk, dan itu sangat tidak
nyaman, jadi mungkin kapan kapan saja. Aku melihat ke jam tanganku,
‘masih
ada 1 jam lebih.’
Aku masih punya waktu sebelum bertemu dengan Natasya.
“Mungkin
kapan kapan saja Zack, masih ada waktu sih, tapi aku mau jalan jalan
saja dulu, siapa tahu aku bisa bertemu dengan orang yang menarik
sepertimu, tapi terimakasih informasinya.” kataku sambil tersenyum
ke arah Zack.
“Baiklah,
aku juga tidak memaksamu Nak. Hati hatilah di jalan,” balas Zack.
Aku
berdiri dari kursi, “Sampai jumpa Zack, kapan kapan ajak aku
bertemu dengan kenalanmu itu, haha.”
“Santai
saja, baiklah sampai jumpa.” Zack melambaikan tangannya, aku juga
melambaikan tanganku. Kakek Zack memang orang yang baik.
Aku
mulai berjalan menyusuri kota untuk menunggu sisa waktuku bertemu
dengan Natasya, saat aku berjalan di tengah kota, aku mencium bau
yang sangat harum. Aku tahu aroma apa ini, kopi hitam, tapi aku
merasa aroma ini agak berbeda, pasti peraciknya handal, aku jadi
ingin mencicipinya. Saat aku sibuk menengok ke kanan dan kiri untuk
mencari arah aroma ini, dan tanpa sadar aku malah menabrak seseorang.
“Maafkan
aku, aku tidak sengaja,” aduuuh, aku merasa ceroboh hanya karena
sebuah aroma kopi saja. Aku memunguti kertas yang dijatuhkan orang
yang kutabrak, dan
“Tidak
apa apa, aku juga tidak terluka, aku juga minta maaf karena sibuk
melamun, hehe” kata orang tersebut.
Saat
aku berdiri, sekilas aku melihat tulisan dikertas yang kupungut tadi,
dan dikertas itu tertulis ‘Light of Life’ aku agak kaget, apakah
orang di depanku ini Jordan?
Dia
mendongak sambil membenarkan letak kaca matanya, “Terimakasih ya,”
katanya, dan saat kulihat ternyata dia bukan Jordan yang seperti
dihandphone kakek Zack tadi. Apa tadi foto yang diambil kakek Zack
salah? Mungkin ini kesempatan yang diberikan padaku untuk bertanya.
“Apa
anda Jordan Ando?” tanyaku dengan hati hati.
“Eh?
Bukan, saya Paul, memang kenapa dengan pak Jordan?” sepertinya aku
salah orang.
“Tidak,
tidak apa apa,” kataku sambil menggaruk belakang kepala yang
sebenarnya tidak gatal.
“Apa
anda kenal pak Jordan? Kalau iya, bisa tolong berikan ini kepadanya?”
dia memberikan sebuah amplop besar yang isinya kertas yang sempat
kubaca tadi.
“Maaf,
saya hanya tahu namanya saja, saya saja belum pernah bertemu
langsung,” kataku.
“Waah
pak Jordan memang hebat, selain baik dan dermawan, sepertinya beliau
juga terkenal dimasyarakat,” katanya dengan nada riang.
‘Baik
dan Dermawan?’
Aku merasa bingung dengan apa yang dikatakan Paul, “Apa maksud anda
dengan orang yang baik dan dermawan?” tanyaku dengan penuh
penasaran.
“Iya,
dia sangat baik dan dermawan, tempat kami sering mendapat bantuan
dana dari Pak Jordan, tanpa beliau mungkin tempat kami akan sangat
kesusahan.” Tunggu, aku malah semakin bingung.
“Tempat
yang anda bicarakan itu apa?” aku berusaha mencerna perkataan Paul.
“Ah,
itu ya. Tempat kami adalah panti asuhan, Pak Jordan adalah orang yang
sering mampir dan bermain dengan anak anak disana, dan apa anda
tahu?” Paul mendekat ke arahku dan berbicara dengan suara agak
pelan, “Dana yang diberikan kepada kami setiap bulan sangat besar,
sekitar 1000$, dengan uang sebanyak itu, kami tidak perlu khawatir
lagi dengan jumlah anak yang kami tampung, meskipun hampir setiap
bulan kami mengalami kesusahan karena banyaknya anak anak sih. Pak
Jordan lah yang membantu kami. Ah! Maaf aku terlalu banyak bercerita,
bisa kau rahasiakan apa yang kukatakan tadi? hehe”
Aku
tidak menjawab pertanyaan dari Paul, aku masih berusaha mencoba
mencerna apa yang dikatakan oleh Paul. Meskipun masih ada beberapa
pertanyaan dalam otakku, tapi perlahan lahan gambaran buruk mengenai
Jordan hilang dari pikiranku, meskipun belum semuanya.
Aku
merasa malu pada diriku sendiri, aku telah membuat sebuah kesalahan
besar, bagaimana tidak? Hanya karena sebuah balasan email dan
minimnya informasiku, aku sudah menganggap kalau Jordan adalah orang
yang tidak baik, bahkan aku juga membicarakan tentang keburukannya
pada orang lain.
Saat
ini aku harus bertemu dengannya, selain untuk menanyakan beberapa hal
yang mengganjal dalam otakku, aku juga akan meminta maaf. Aku menilai
orang dengan cara yang salah, sampul yang tampak buruk bagiku
ternyata isinya adalah sebuah kebaikan bagi orang lain.
Bersambung...................
Bersambung...................
Post a Comment