Dunia Tak Sekecil Kamar Apartemen, Bagian 5

Aku menatap orang didepanku dengan mata kosong, aku bisa melihatnya mengucapkan beberapa kata yang sangat panjang, hanya saja, sekarang, kesadaranku hilang entah kemana, aku sibuk dengan berbagai masalah yang bentrok dalam otakku.
Baca Juga Dunia Tak Sekecil Kamar Apartemen :

“Ha...Halo...Halo...” Tangan Paul yang menyentuh pundakku membuat kesadaranku kembali.
“Maaf, saya melamun, hehe,” aku tertawa hambar, lalu melihat ke arah amplop yang sempat diberikan padaku. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya tidak terlalu mengenalnya, melihatnya secara langsung saja belum pernah, tapi saya bisa membantu anda memberikan amplop itu,” tawarku.
Paul melihat amplop itu, entah kenapa aku merasa ia agak enggan memberikannya, mungkin karena sikapku barusan. Dia tersenyum, “Baiklah, saya yakin anda orang baik, ini. Ngomong ngomong nama anda siapa?” Paul menyerahkan amplopnya padaku.
‘Orang Baik?’ rasa bersalahku malah semakin bertambah, aku mengambil amplop itu sambil berusaha tersenyum. “Nama saya William, tidak usah terlalu formal, saya merasa kurang nyaman,” kataku.
“O..Oh, salam kenal, kalau begitu kamu juga tidak usah terlalu formal,” katanya agak sedikit gugup. Kami kembali diam. Lalu Paul melihat ke arahku.
“Terimakasih ya? Aku sangat tertolong, kau tahu? Aku ini hobi memancing, dan hari ini sebenarnya aku akan pergi memancing, kamu tahukan danau Wender yang di pinggir kota? Ikannya sangat banyak dan besar, aku sering sekali mendapat banyak ikan dari sana, dan biasanya kubawa ke panti asuhan dan memakannya bersama anak anak, enak lo, kamu harus coba, kapan kapan akan aku ajak kamu kesana. Ah! Maaf aku bercerita sesuatu yang tidak penting hehe, aku ini tipe orang yang hobi cerita sih.” Aku hanya tersenyum mendengarkan ceritanya, sepertinya ia orang yang bersemangat dan aktif.
“Tidak masalah, aku malah tertarik dengan ceritamu, kapan kapan ajak aku memancing ke sana ya?” kataku.
“Tentu saja, tidak masalah.” balasnya sambil tersenyum lebar.
Sebelum pergi, kami saling bertukar kontak agar lebih mudah untuk dihubungi. Aku melihat kembali jam di tanganku, ‘masih ada setengah jam lebih’, aku jadi teringat dengan apa yang dikatakan kakek Zack, apa aku terlalu bersemangat karena yang mengajakku keluar adalah wanita? Aaah, tidak ada gunanya aku memikirkan hal tersebut. Sekarang aku harus fokus pada hal lain.
Aku tahu tidak mudah mencari satu orang ditengah kota yang penduduknya mencapai ribuan, jadi kuputuskan untuk membawa dulu amplop tersebut lalu menyerahkannya ke Mouty dan menanyakan alamat Jordan. Aku merasa harus bertemu dengannya.
Karena masih ada waktu luang sebelum bertemu Natasya, aku lebih memilih untuk mampir ke cafe yang aromanya membuatku terhipnotis, aku langsung berjalan dengan mengandalkan penciumanku sebagai kompas. Beruntung jarakya tidak terlalu jauh.
Sekarang di depanku tampak sebuah Cafe dengan tulisan Make Your Imagination, ‘cafe macam apa ini? tulisannya aneh sekali.’ Aku mengabaikan tulisan tersebut dan langsung masuk. Saat aku masuk ke dalam terdengar bunyi lonceng kecil. Karena bagian depan yang tampak seperti cafe biasa, kupikir tampilan dalamnya akan sangat membosankan, tapi ternyata tidak, justru tampilan dalamnya sangat menyejukkan mata, warna cat yang natural ditambah dengan beberapa tanaman hias, mungkin ini alasan kenapa nama cafe ini unik, Make Your Imagination, karena menurutku suasananya memang cocok bagi mereka yang hobi bermain dengan imajinasinya, kurasa aku akan betah disini.
Aku mencari tempat yang kosong, dan aku mendapati tempat favoritku masih ada yang kosong, meja paling pojok. Aku sangat suka duduk di pojok ruangan, selain tidak menarik perhatian, bagian pojok ruangan juga lebih tenang dan tidak berisik.
Aku duduk disana dan meletakkan amplop yang kubawa di pojok meja, ternyata kursinya juga cukup nyaman, kapan kapan akan aku ajak Kakek Zack ataupun Natasya kemari, aku yakin mereka senang. Asik dengan pikiranku, aku tidak sadar kalau ada seorang pelayan yang menyodorkan menu ke arahku. Aku mendongak, dan cukup kaget dengan apa yang kulihat.
“Na…Natasya?” Aku langsung membungkam mulutku, tanpa sadar, suaraku barusan terdengar hampir ke seluruh cafe, aku hanya menundukkan kepala, kemudian mendongak dengan perlahan lahan.
“Hai William, mau pesan apa?” sapanya ramah sambil tersenyum.
Ada dua hal yang membuatku kaget. Pertama, aku tidak menyangka bisa bertemu Natasya disini, dan yang kedua, Natasya yang ada di depanku sekarang sangat berbeda dengan yang kuantar pulang kemarin, dia tampak lebih manis, dengan pakaian ala bartender dan rambutnya yang panjang diikat model ekor kuda semakin menambah kesan manis bagiku.
“Eh? a.. itu.. aku pesan..” mataku langsung sibuk mencari minuman di menu, dan pandanganku tertuju pada tulisan ‘Dream Cofe’ yang mengingatkanku dengan nama universitas termpatku kuliah. “Aku pesan Dream Cofe,” kataku pada Natasya.
“Hmm Dream Cofe, baik. Ada lagi?” katanya sambil menulis apa yang kupesan di kertas.
Aku kembali mencari dimenu, kurasa hanya secangkir kopi tidak akan bisa memuaskanku, aku juga harus memilih cemilan. “Dan keripik kentang.”
Natasya kembali menulis sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Ada lagi?”
“Kurasa tidak,” kataku. Nataysa memandang kearahku, lalu tersenyum manis, “Baiklah, silahkan tunggu sebentar,” dia lalu berjalan ke arah kasir.
“Iya,” balasku, entah ia mendengar atau tidak. Pikiranku yang tadinya dipenuhi dengan masalah Jordan dan Mouty entah kenapa tiba tiba memudar.
Beberapa menit kemudian, aku melihat Natasya membawa sebuah nampan dan berjalan ke arahku, dia menaruh nampan tersebut di atas meja, “Selamat menikmati,” ia tersenyum lagi, dan aku tidak pernah bosan melihatnya tersenyum.
Aku merasa agak canggung, belum sempat aku mengucapkan terimakasih, ia sudah pergi duluan. Kulihat ia menghampiri meja lain dan menyapa mereka, ‘Benar juga, bukan hanya aku yang datang ke cafe ini,’ pikirku.
Aku meminum kopi yang kupesan, dan untuk kesekian kalinya, tempat ini memberikanku kejutan yang tidak terduga, rasa kopi ini sangat nikmat, aku sangat yakin biji kopi yang digunakan adalah biji kopi yang berkualitas, aroma yang dipancarkan juga sangat harum.
Karena rasa kopinya yang sangat nikmat, aku juga mengira rasa makanannya akan setara dengan minumannya, tapi ternyata tidak, rasa keripik kentangnya biasa saja, mungkin aku terlalu berharap.
Aku merasakan handphoneku bergetar, aku memang tidak memberi suara pada handphoneku karena itu sangat mengganggu. Saat kubuka, ada satu pesan masuk, ‘Dari Natasya?’.
Tanpa pikir panjang aku langsung membukanya, ‘William, tunggu aku disitu saja,’ tulisnya. Lalu aku melihat ke arah Nataysa, ia terlihat melambaikan tangan ke arahku, aku hanya tersenyum.
Aku kembali memakan makananku sambil menunggu Natasya, sekali kali aku memperhatikan sekeliling cafe. Ternyata cafe ini tidak terlalu ramai pengunjung, hanya beberapa orang saja yang mampir dan membeli makanan atau minuman. Mungkin cafe ini kalah menarik dengan cafe cafe besar diluar sana, tapi dari pengalamanku pergi ke cafe besar saat bersama temanku, kopi yang disajikan disini lebih enak, dan suasananya juga lebih nyaman.
Natasya berjalan ke arahku sambil membawa nampan, ia sudah memakai pakaian biasa. Natasya meletakkan nampan tersebut lalu duduk, ternyata isinya sama dengan apa yang kupesan.
“Maaf membuatmu menunggu,” katanya.
“Tidak masalah, toh sebenarnya masih ada beberapa menit sebelum kita bertemukan? Tapi kita malah bertemu disini.”
“Benarkah?” Natasya melihat jam di dalam cafe, “Wah benar, aku malah tidak tahu, hehe. Sejujurnya aku cukup kaget saat melihatmu ada di depan pintu masuk,” katanya sambil malu malu.
“Aku juga kaget melihatmu bekerja disini, tadinya aku hanya ingin mampir untuk meminum kopi, ” kataku jujur.
“Begitukah? Aku tidak tahu kalau kamu suka kopi, tapi kau memilih tempat yang tepat, peracik kopi disini sangat handal.” katanya sambil memakan keripik kentangnya.
“Pantas saja kopi ini enak sekali. Apa kamu juga meracik kopi?” tanyaku, dan berharap kalau kopi yang kuminum ini diracik oleh Natasya.
Dia meminum kopinya, lalu meletakkannya kembali ke meja, “Tidak, aku masih sangat pemula, kalau aku yang meracik kopinya, pasti tidak akan ada yang datang lagi,” katanya sambil tertawa kecil.
Natasya melirik ke arah amplop yang ada di meja, “Ngomong ngomong apa itu?” dia menunjuk ke arah amplop.
“Aku kurang tahu isinya apa, aku hanya diminta untuk memberikannya kepada seseorang,” gara gara pertanyaan Natasya aku jadi teringat lagi dengan masalah Mouty dan Jordan.
“Jangan jangan itu surat cinta?” tanya Natasya dengan cepat. Aku yang asik mengunyah keripik kentang jadi tersedak.
“Uhuk uhuk…Ehm… tentu saja tidak, ini surat dari panti asuhan,” kataku cepat.
Natasya diam sejenak, “Syukurlah,”
“Kau mengatakan sesuatu?” tanyaku karena aku yakin barusan ia mengatakan sesuatu, hanya saja telingaku tidak bisa mendengar suaranya karena terlalu pelan.
Dia terlihat panik, “Heh? Tidak tidak, kau salah dengar, aku tidak mengatakan apa apa kok, hehe,” Aku tahu kalau ia berusaha memaksakan diri untuk tertawa, tapi biarlah, aku tidak terlalu memperdulikannya.
“Ah iya, ngomong ngomong kali ini aku yang traktir, santai saja, anggap saja sebagai balasan karena kemarin kau mentraktirku dan mengantarku pulang,” lanjutnya.
“Tidak usah, biar aku saja yang bayar, yang kemarin itu tidak perlu kau permasalahkan,” tentu saja aku menolak jika harus ditraktir Natasya, bukan karena harga diriku sebagai laki laki tinggi, hanya saja, Natasya lebih membutuhkan uang dibandingkan aku.
“Tidak usah sungkan, lagipula aku yang mengajakmu untuk keluar bersamaku kan? Jadi sudah sewajarnya aku mentraktirmu.”
Aku tetap menolaknya, “Tapi---” Nyaris saja aku mengatkan kalau aku merasa lebih mampu dari Natasya. Aku memikirkan ulang kata kataku, tapi Natasya sudah terlebih dahulu memaksa, “Tidak ada tapi tapian, intinya sekarang aku yang bayar,” disini aku bisa melihat keegoisan seorang wanita.
Suasan kembali canggung, aku bingung memulai dari mana, bertemu dengannya disini saja sudah diluar perkiraanku, apa aku harus menceritakan soal Mouty dan Jordan ya? Tidak tidak, aku tidak ingin membicarakan masalah itu lagi pada orang lain. Lalu apa yang harus kubicarakan, ayo pikir William, pikir.
“Kau baik baik saja?” Pertanyaan Natasya membuat lamunanku buyar.
“Eh? Iya, aku baik baik saja, memangnya kenapa?” Tanyaku gugup.
“Entahlah, aku hanya merasa kalau hari ini kamu kurang sehat, apa mungkin sakit? Atau ada masalah mungkin?” Insting seorang wanita memang mengerikan.
“Tidak kok, tadikan sudah kubilang kalau aku tidak apa apa. Ngomong ngomong sudah berapa lama kamu kerja disini?” tanyaku sebagai pengalih perhatian. Aku tidak ingin Nataysa khawatir dengan pikiranku yang super rumit ini.
Natasya kembali meminum kopinya, “Sudah cukup lama,cafe ini adalah penyelamat hidupku, hanya dengan modal menyanyi di jalanan tidak akan bisa mencukupi kebutuhanku dan adikku, lagipula kami, para pengamen jalanan, hanya dibolehkan melakukan aksi kami pada jam setengah 5, karena itu aku butuh pekerjaan sampingan.”
Aku hanya mengangguk angguk saja. Setelah itu, aku dan Natasya hanya mengobrol ringan, ia juga bercerita soal Maria yang mendapat beasiswa, ia tampak sangat bahagia saat menceritakan kejadian tersebut. Tak jarang kami juga tertawa karena cerita konyol kami, seperti kebiasaan Maria yang suka mengigau di tengah malam, dan pengalaman memalukanku saat berbelanja di minimarket tapi lupa membawa dompet.
Tanpa sadar, kami sudah mengobrol terlalu lama, Natasya menawariku pergi ke taman untuk mendengar dan melihat dia menyanyi, tapi aku menolak, aku harus segera menyelesaikan tugasku dulu.
“Maaf ya, besok aku pasti datang,” kataku saat di depan cafe.
Natasya memalingkan wajahnya, “Terserah kau saja.”
“Kalau begitu, sampai jumpa besok,” kataku sambil melambaikan tangan.
Dia hanya mengangkat tangannya lalu berjalan, “Dasar,” samar samar aku mendengar Natasya mengatakan kata itu, tapi entahlah, aku tidak peduli, yang penting sekarang aku harus pulang.
Aku berjalan pelan menuju apartemenku, saat sampai di sana, aku langsung menuju kamar Mouty yang tepat berada di samping kamarku. Aku mengetuk pintunya, “Mouty, kau di dalam?”
Setelah menunggu beberapa detik, pintu akhirnya terbuka, tapi bukan sosok Mouty yang kulihat, melainkan seorang laki laki bertubuh tinggi, dengan tubuh agak kurus, dan rambut pirang. Dia sangat mirip dengan Jordan yang dihandphone kakek Zack.
“Kau siapa? Dan ada urusan apa dengan Mouty?” katanya, suaranya terdengar sangat berat.
Aku mencoba untuk tenang, meskipun masih agak kaget, karena lagi lagi aku tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang di tempat yang tidak ku duga.
“Aku William, aku tinggal di sebelah kamar Mouty,” kataku.
“Oooh jadi kamu yang membantunya mengirim emali itu ya? Terimakasih, aku sangat tertolong,” wajahnya yang tadi tampak serius, langsung berubah ceria.
“Iya sama sama, aku juga senang bisa membantu. Oh ya, apa kamu Jordan Ando?” tanyaku mencoba memastikan.
“Iya, salam kenal ya.” Dia menjulurkan tangnnya sambil tersenyum.
Aku menerima uluran tangannya, “Oh ya, ini ada kiriman untukmu, dari Paul.” kataku sambil menyerahkan amplop yang diberikan Paul padaku.
“Waah sepertinya aku berhutang banyak padamu ya? Hahaha, kalau kamu butuh bantuan bilang saja, tidak usah sungkan padaku.” Katanya sambil menerima amplop yang kuberikan.
Aku merasa ini adalah kesempatan emas bagiku, “Kalau begitu boleh aku menanyakan beberapa hal padamu?” kataku serius.
“Tentu saja, tidak masalah, tapi sebelum itu masuklah, aku tidak enak jika berbicara di depan pintu masuk seperti ini,” Dia lalu masuk ke dalam kamar lagi.
Aku mengikutinya dari belakang, dan saat aku masuk, aku sama sekali tidak melihat Mouty, “Kemana Mouty?” tanyaku karena penasaran.
“Apa itu yang ingin kau tanyakan?” dia mengambil dua kursi, satu diserahkan padaku, lalu satunya lagi dia pakai.
“Tentu saja bukan, aku hanya memastikan saja.”
“Dia pergi ke toko Anime atau apa itu. Haeh, dia itu suka sekali dengan kartun kartun seperti itu, bahkan sampai mengoleksi DVD dan Figurenya, benar benar pemborosan.”
Aku diam, lalu mulai merangkai apa yang ingin kutanyakan dan mulai menanyakannya, “Baiklah, ada beberapa hal yang ingin ku tanyakan, yang pertama, Apa kau memanfaatkan Mouty? Aku sudah melihat email balasan dari pihak Family art, disitu kamu mengaku sebagai penjual desain dan menjualnya kepada family art, dan setelah tahu jumlah uang yang kamu terima, kamu hanya memberi Mouty 25%nya saja, bahkan kurang dari itu.” Aku mengatakan itu dengan serius.
Jordan terlihat biasa saja, tadinya kupikir dia akan marah atau terkejut, “Oooh itu, baiklah, aku memang hanya memberi Mouty sekitar 25% saja, tapi yang 25% lainnya sebagai biaya hidupnya, seperti menyewa apartemen ini dan membayar listriknya, kamu bisa lihat sendiri di sini terdapat banyak perangkat elektronikkan? Jika kamu tidak percaya, aku bisa meminta tagihan listrik dan memberikannya padamu. Dan untuk yang 50%nya aku tidak bisa bilang.” katanya dengan santai.
Aku jadi teringat dengan perkataan Paul kalau Jordan sering memberinya donasi sekitar 1000$, itu sudah 50% dari bayaran desain yang dibuat oleh Mouty. Aku melanjutkan pertanyaanku, “Lalu, apa Mouty tahu kalau kau mengambil bagian yang 50% itu?”
“Tentu saja sudah tahu, menurutnya itu sebagai imbalan atas jasaku, itu yang dikatakannya.” Sampai titik ini, perasaanku prasangka burukku pada Jordan sudah agak berkurang.
“Baiklah, ini pertanyaan terakhir, kenapa kau memarahi Mouty saat dia terlambat mengirim desain kepadamu?”
Dia menghela napas sejenak, lalu melihat ke arahku, “Bukan maksudku berbuat baik kepada Mouty, dan aku juga tidak ingin membicarakan kejelekan orang lain. Mouty memang sangat berbakat dalam mendesain sesuatu, tapi sifatnya yang pemalaslah yang membuatnya sering terlambat dalam mendesain, dan kau tahu sendirikan kalau perusahaan yang sedang bekerja sama dengan Mouty adalah perusahaan besar? Kalau aku tidak memarahinya dan menyuruhnya cepat cepat mendesain, dia mau tinggal dimana? Dia mau makan apa? DAN BAGAIMANA DENGAN NASIB ANAK ANAK PANTI ASUHAN?!” Dia berdiri dari kursinya, dapat kulihat mukanya memerah.
Aku cukup kaget dengan perubahan sikapnya, aku hanya bisa diam, “Maaf, aku terlalu terbawa emosi dengan sikap Mouty, lupakan saja apa pertakaanku yang terakhir tadi,” katanya lalu duduk kembali dikurisnya.
Sekarang aku merasa semuanya sudah jelas, dan yang perasaan lega menghampiri diriku, tapi ironisnya ada perasaan bersalah karena berprasangka buruk pada Jordan, bahkan sampai membicarakannya pada orang lain. Aku merasa harus meminta maaf pada Jordan, harus.
“Sekarang aku merasa lega. Jordan, ada hal lain yang ingin kukatakan padamu,” Jordan terlihat masih mengatur nafasnya, tapi aku tetap melanjutkan, “Aku minta maaf,” kataku.
Jordan tampak kaget, tapi dia tidak memberi tanggapan, aku melanjutkan lagi, “Alasan pertama aku meminta maaf padamu adalah karena aku sudah berprsangka buruk padamu, dan yang lebih parah adalah aku sudah membicarakan yang tidak tidak tentangmu pada seseorang.” kataku dengan hati hati.
Jordan tetap diam, dia mengambil nafas panjang, lalu berkata, “Kukira tadi apa. Tidak masalah, aku sendiri juga tidak ingin dianggap orang yang baik.” syukurlah, kukira tadinya dia akan marah.
“kupikir itu tidak benar, kupikir tadinya kau membantu Mouty karena ingin mendapat keuntungan darinya. Tapi ternyata kau benar benar orang baik,” kataku sambil tersenyum.
Dia hanya tertawa kecil, “Aku pernah mendengar temanku mengatakan sesautu yang itu sangat menginspirasi diriku, dan mungkin menjadi sindiran bagi sebagian orang. Kamu mau dengar?”
Aku penasaran dengan apa yang dikatakan teman Jordan, “Tentu saja, silahkan.”
“Temanku mendengar seseorang berkata seperti ini ‘Untuk apa orang berbuat baik tapi tidak dibalas dengan kebaikan?’ lalu dia menyahut ‘Untuk apa berbuat baik tapi meminta imbalan? Dan seketika orang itupun terdiam. Aku hanya tertawa saat temanku menceritakan itu.” Jordan kembali tertawa.
Aku hanya diam, kupikir apa yang dikatakan teman Jordan adalah hal yang benar. Sebelumnya aku merasa bisa dekat dengan Kakek Zack, Natasya dan Mouty karena kupikir saat aku berbuat baik maka aku akan mendapat sesuatu yang baik pula. Tapi setelah mendengar perkataan Jordan barusan aku menyadari kalau ini manusia yang paling rendah di antara para manusia, aku hanya berbuat baik untuk kepentingan pribadi.
 Selama ini aku hanya mengurung diriku di apartemen tanpa mau menjamah dunia luar, dunia dimana apa yang bisa saja ku lihat baik tapi itu adalah hal yang buruk, begitupun sebaliknya. Untuk apa berbuat baik tapi meminta imbalan? Perkataan tersebut menyadarkanku akan posisiku.
Hari ini aku belajar sesuatu, tentang apa itu kebaikan, apa itu balasbudi, dan apa itu dunia luar. Aku harus bisa berkembang, aku tidak mungkin terus menerus diam di tempat yang sama, karena ini adalah dunia, dimana roda akan terus berputar.
Tamat

Terimakasih kepada kalian yang setia membaca

You may like these posts

Post a Comment