Mencoba Dan Mencari Linux Untuk Kenyamanan Dan Profesional

Biar kutegaskan di awal, aku benci Windows 11 dengan segala pemaksaan update dan aplikasi yang entah berantah bisa memakan banyak RAM/CPU di latar belakang. Tapi aku juga tidak bisa berbohong kalau aku butuh Windows untuk gaming.

Perkenalkan, ini laptopku ThinkPad E16 Gen 2. Sebuah laptop yang, yaaah, menurutku bisa dibilang memiliki feel mengetik terbaik sampai dengan saat ini dibanding laptop-laptopku yang lain, bahkan mengalahkan MacBook Pro M1 Pro milikku.

Kelebihan lainnya, layarnya menurutku cukup bagus dan enak dipakai dalam waktu lama. Selain itu, tidak ada yang spesial, speakernya biasa aja, trackpad-nya juga tidak senyaman MacBook maupun MatePad Pro 12.2.

Dan soal baterai… yahhh, ini saranku ya: kalau kamu ingin membeli laptop baru atau bekas, lihatlah kapasitas baterainya, dan sebisa mungkin cari yang di atas 50–60Wh. Laptopku ini memiliki kapasitas 47Wh, dan dari 90%–20% hanya bertahan 2,5–3 jam dengan kegiatan office + YouTube. Itupun aku harus melakukan install ulang dulu, YTTA.

Awal Mula Pindah ke Linux

Setelah muak dengan segala problematik Windows 11 (meski aku sudah melakukan install ulang) akhirnya aku memutuskan untuk mencoba menginstal Linux dan menggunakannya untuk pekerjaanku.

Setelah mencari tahu beberapa opsi Linux, akhirnya pilihanku jatuh pada Linux Mint. Di sini aku akan sampaikan pengalamanku dari sisi baik dan buruknya.

Pengalaman Baik

Yang pertama, laptopku jadi jauh lebih dingin untuk pemakaian jangka panjang. Bahkan kipasnya jarang sekali bunyi, berbeda dengan Windows 11, di mana untuk kegiatan office + YouTube saja kadang sudah mulai terdengar.

Yang kedua, baterai terasa lebih awet. Meski tidak terlalu fantastis, tapi dari 90%–20% bisa menghabiskan waktu 3 jam ke atas lumayan lah ya, bisa menghemat sekitar 30 menit dibanding Windows. Tapi di sini aku juga menggunakan aplikasi tambahan yaitu TLP.

Yang ketiga, performa gaming terasa agak stabil. Di laptopku ini aku hanya memainkan satu game saja yaitu One Piece Pirate Warriors 4, dan performanya di setelan medium 1080p lebih stabil dibanding Windows 11. Aku tidak bisa berkomentar banyak soal gaming karena memang hanya game ini yang aku mainkan.

Yang keempat, programming jadi lebih nyaman dan leluasa. Untuk yang terbiasa menggunakan MacBook, pasti tidak akan bingung saat pindah ke Linux Mint. Kita bisa dengan mudah mengcustom berbagai hal, apalagi rata-rata package atau dev tool yang ada di macOS kemungkinan besar juga ada di Linux, katakanlah Mise dan Homebrew.

Selain itu, untuk yang sudah baca tulisanku tentang programming, bahasa Ruby yang kupakai bisa jauh lebih mudah diinstal di Linux dibanding di Windows, yang mau tidak mau harus lewat WSL, jadi secara konfigurasi memang lebih ribet kalau di Windows.

Yang kelima, Linux Mint sekarang sudah mendukung fitur autentikasi fingerprint.
Fitur ini, seingatku, baru dirilis sekitar bulan September lalu, dan sangat-sangat membantu saat instalasi atau update. Cukup tap saja di bagian fingerprint untuk memberikan akses, nggak perlu lagi ketik password.

Pengalaman Buruk

Oke, sekarang kita masuk ke poin negatifnya, yang sebenarnya cuma satu sih, yaitu, Office.

Saat ini memang banyak alternatif Office di Linux seperti LibreOffice, OnlyOffice, dan WPS Office, tapi tidak ada yang sebagus dan senyaman Microsoft Office.

Sebenarnya aku sudah mencoba menginstal Microsoft Office menggunakan PlayOnLinux, tapi biar aku jelaskan dulu konteksnya.

Di tempatku kerja, kami menggunakan sistem file sharing, yang intinya kami bisa bekerja di satu folder yang sama tanpa perlu khawatir ada perbedaan isi file. Jadi, nggak ada tuh USB-USB-an buat ngasih file laporan terbaru.

Nah, di sistem sharing file ini, kalau ada user yang membuka file A terlebih dahulu, maka kalau user lain membukanya dia hanya bisa melihat saja, biasanya muncul notifikasi kalau file sedang dibuka user lain.

Dan di sinilah muncul dua masalah besar.

  • Pertama, di LibreOffice dan OnlyOffice yang aku pakai, keduanya tidak menampilkan notifikasi kalau file sedang dibuka.

  • Kedua, ketika aku mengedit file menggunakan WPS Office atau Microsoft Office via PlayOnLinux, dan tiba-tiba ada user lain yang membuka file yang sama, otoritasku langsung hilang. Artinya, ketika aku mau menyimpan file yang sudah kuedit panjang x lebar, hasilnya malah disimpan sebagai file baru. Lah, kan aneh yak?

Masih seputar Office, WPS Office yang bisa diinstal di Linux itu versi 2019, dan tentu masih banyak sekali bug-nya. Bahkan font-nya saja banyak yang tidak sesuai dengan dokumen kantor, jadi mau tidak mau aku harus instal beberapa font tambahan.

Kemudian untuk Microsoft Office di PlayOnLinux, karena bukan native, tentu saja banyak bug-nya juga. Dan jujur aja, aku sangat tidak menyarankan cara ini untuk pekerjaan yang lebih banyak di lingkup Office.

Kesimpulan

Kesimpulannya sederhana:
Untuk kamu yang bekerja di lingkup perkantoran, aku tidak menyarankan menggunakan Linux, karena dukungan untuk Office-nya masih jauh dari kata bagus.

Tapi kalau kamu seorang programmer, gamer ringan, atau suka ngoprek laptop/PC, maka Linux jelas sangat cocok buat kamu.

Lalu ini ada beberapa tips dan penyelesaian masalah yang umum terjadi ketika baru menggunakan Linux Mint:

  1. Layar blank saat booting
    Kalau kamu mengalami layar blank ketika booting, coba update kernel ke versi terbaru lewat bootable USB. Biasanya ini bisa langsung mengatasi masalah kompatibilitas tampilan atau driver VGA.

  2. Laptop/PC menyala sendiri setelah shutdown
    Kadang waktu kita mau mematikan komputer, sistem malah restart atau nyala lagi sendiri. Kalau itu terjadi, coba masuk ke menu BIOS lalu matikan semua trigger yang bisa membangunkan perangkatmu, seperti “Wake on LAN”, gerakan mouse, atau sentuhan keyboard.

  3. Font berantakan di WPS Office
    Kalau kamu pakai WPS Office di Linux, kemungkinan besar tampilannya jadi berantakan karena banyak font yang tidak tersedia secara default. Solusinya, coba cari di YouTube tutorial cara import font di Huawei MatePad, lalu tiru langkah-langkahnya, karena struktur direktori file antara Huawei MatePad dan Linux ternyata cukup mirip. Aku sudah coba sendiri dan hasilnya 100% berhasil.


Sampai jumpa di tulisanku yang lain.
Salam,
Lyriraki Dev

You may like these posts

1 comment

  1. yok bisa yok